Jumat, 30 Maret 2012

Mengapa Bangsa Indonesia kalah kreatif dari negara-negara maju



Sebenarnya ini adalah ringkasan dari buku Prof.
Ng Aik Kwang dari University of Queensland
yang berjudul “Why Asians Are Less Creative
Than Westerners”(Mengapa bangsa Asia kalah
kreatif dari negara-negara barat), tapi
berhubung saya tinggal di Indonesia dan lebih
mengenal Indonesia, maka saya mengganti
judulnya, karena saya merasa bahwa bangsa
Indonesia memiliki ciri-ciri yang paling mirip
seperti yang tertulis dalam buku itu.

1. Bagi kebanyakan orang Indonesia, ukuran
sukses dalam hidup adalah banyaknya materi
yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta
lain). Passion (rasa cinta terhadap sesuatu)
kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas
kalah populer oleh profesi dokter, pengacara,
dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat
menjadikan seorang untuk memiliki banyak
kekayaan.

2. Bagi orang Indonesia, banyaknya kekayaan
yang dimiliki lebih dihargai daripada cara
memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran
bila lebih banyak orang menyukai ceritera,
novel, sinetron atau film yang bertema orang
miskin jadi kaya mendadak karena beruntung
menemukan harta karun, atau dijadikan istri
oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula
bila perilaku korupsi pun ditolerir/diterima
sebagai sesuatu yang wajar.

3. Bagi orang Indonesia, pendidikan identik
dengan hafalan berbasis “kunci jawaban”,
bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes
masuk PT, dll, semua berbasis hafalan. Sampai
tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal
rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya,
bukan diarahkan untuk memahami kapan dan
bagaimana menggunakan rumus rumus
tersebut.

4. Karena berbasis hafalan, murid-murid di
sekolah di Indonesia dijejali sebanyak mungkin
pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all
trades, but master of none” (tahu sedikit-sedikit
tentang banyak hal tapi tidak menguasai
apapun).

5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar
Indonesia bisa jadi juara dalam Olympiade Fisika
dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada
orang Indonesia yang memenangkan Nobel
atau hadiah internasional lainnya yang berbasis
inovasi dan kreativitas.

6. Orang Indonesia takut salah dan takut kalah.
Akibatnya, sifat eksploratif sebagai upaya
memenuhi rasa penasaran dan keberanian
untuk mengambil resiko kurang dihargai.

7. Bagi kebanyakan bangsa Indonesia, bertanya
artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak
mendapat tempat dalam proses pendidikan di
sekolah.

8. Karena takut salah dan takut dianggap
bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau
workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi
setelah sesi berakhir, peserta akan
mengerumuni guru/narasumber untuk meminta
penjelasan tambahan.

Dalam bukunya, Prof.Ng Aik Kwang
menawarkan beberapa solusi sebagai berikut:
1. Hargai proses. Hargailah orang karena
pengabdiannya, bukan karena kekayaannya.
Percuma bangga naik haji atau membangun
mesjid atau pesantren, tapi duitnya dari hasil
korupsi.

2. Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban.
Biarkan murid memahami bidang yang paling
disukainya.

3. Jangan jejali murid dengan banyak hafalan,
apalagi matematika. Untuk apa diciptakan
kalkulator kalau jawaban untuk X x Y harus
dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata
pelajaran tapi benar-benar dikuasainya.

4. Biarkan anak memilih profesi berdasarkan
passion (rasa cinta)-nya pada bidang itu, bukan
memaksanya mengambil jurusan atau profesi
tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang.

5. Dasar kreativitas adalah rasa penasaran
berani ambil resiko. Ayo bertanya!

6. Guru adalah fasilitator, bukan dewa yang
harus tahu segalanya. Mari akui dengan bangga
kalau kita tidak tahu!

7. Passion manusia adalah anugerah Tuhan.
Sebagai orang tua, kita bertanggungjawab
untuk mengarahkan anak kita untuk
menemukan passionnya dan mensupportnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2010 King Abdul Aziz | Design : Noyod.Com | Images: Moutonzare